Saturday, November 26, 2011

Tahun Baru Hijriah

Bulan Muharram bagi umat Islam dipahami sebagai bulan Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yang sebelumnya bernama “Yastrib”. Sebenarnya  kejadian hijrah Rasulullah tersebut terjadi pada malam tanggal 27 Shafar dan sampai di Yastrib (Madinah) pada tanggal 12 Rabiul awal. Adapun pemahaman bulan Muharram sebagai bulan Hijrah Nabi, karena bulan Muharram adalah bulan yang pertama dalam kalender Qamariyah yang oleh Umar bin Khattab, yang ketika itu beliau sebagai khalifah kedua sesudah Abu Bakar, dijadikan titik awal mula kalender bagi umat Islam dengan diberi nama Tahun Hijriah.
Dalam bahasa Arab, hijrah bisa diartikan sebagai pindah atau migrasi. Tafsiran hijrah disini diartikan sebagai awal perhitungan kalender Hijriyah, sehingga setiap tanggal 1 Muharam ditetapkan sebagi hari besar Islam. Memang, sejak hijrahnya Rasulullah ke Yatsrib, sebuah kota subur, terletak 400 kilometer dari Makkah, Islam lebih memfokuskan pada pembentukan masyarakat muslim yang tidak kampungan dibawah pimpinan Rasulullah.

Kapankah tepatnya beliau hijrah ke Madinah? Beragam informasi dijumpai pada kitab-kitab tarikh tentang peristiwa itu. Imam at-Thabari dan Ibnu Ishaq menyatakan, “Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama Yatsrib), Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 kenabian/24 September 622 M waktu Dhuha (sekitar jam 8.00 atau 9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin Auf selama empat hari (hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal/27 September 622 M. dan membangun mesjid pertama (yang disebut mesjid Quba). Pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jumat (dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah). Maka Nabi salat Jumat bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah salat Jumat yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan salat Jumat, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah”
Ketika para sahabat sepakat menjadikan hijrah Nabi sebagai permulaan kalender Islam, timbul persoalan lain di kalangan mereka tentang permulaan bulan pada kalender itu. Ada yang mngusulkan Rabi’ul Awwal (sebagai bulan hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah). Namun ada pula yang mengusulkan bulan Muharram. Namun akhirnya Umar memutuskan bahwa tahun 1 Islam/Hijriah di awali dengan 1 Muharram bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M. Dengan demikian, antara permulaan hijrah Nabi dan permulaan kalender Islam sesungguhnya terdapat jarak sekitar 82 hari.

Peristiwa penetapan kalender Islam oleh Umar ini terjadi pada hari Rabu, dua puluh hari sebelum berakhirnya Jumadil Akhir, tahun ke-17 sesudah hijrah atau pada tahun ke-4 dari kekhalifahan Umar bin Khatab. (Lihat, tulisan Dr. Thomas Djamaluddin tentang “Kalender Hijriah” dalam buku Almanak Alam Islami, hal. 183-184, dan Makalah tentang “Konsistensi Historis-Astronomis Kalender Hijriah”)
Momentum Hijriah
Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, KH Syamsul Hadi Abdan, menyatakan tahun baru Islam perlu dimaknai sebagai momentum memperbaiki akhlak. Saat ini Umat Islam sudah tersebar di seluruh penjuru dunia, namun akhlak mereka belum tentu bersifat ‘mahmudah’.
Menurutnya, seseorang perlu memaknai hijrah sebagai momentum untuk mengevaluasi apa yang pernah dilakukannya. Jika seluruh muslim melakukan ini, maka dipastikannya tidak ada kejahatan yang merugikan negara. 
Ia mengatakan inilah momentum untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang universal, diagungkan di dunia dan akhirat. Perayaan tahun baru Islam disarankannya dijadikan momentum untuk berzikir mengagungkan keesaan Tuhan.
Peringatan Tahun Baru Hijriah
Perayaan tahun baru hijriah adalah perkara ijtihadiah seperti ijtihad Umar bin Khattab menjadikan peristiwa hijrah sebagai awal penanggalan hijriah. Jadi, wajar jika ada silang pendapat. Beberapa mufti besar Arab Saudi, misalnya Syekh Abdullah bin Utsaimin, Alu Syekh, dan lainnya menegaskan, peringatan tahun baru hijriah bid'ah.

Alasannya, sahabat Nabi Muhammad SAW tidak pernah melakukannya kecuali pada masa Umar bin Khattab dengan menjadikannya awal penanggalan. Mereka menilai, perilaku itu menyerupai peringatan yang dilakukan orang Nasrani. Ulama di belahan dunia lainnya, termasuk Indonesia, membolehkannya selama tak ada ritual khusus menyerupai kaum jahiliah.
Terlepas dari pro kontra tersebut, menurut hemat penulis, sejauh itu tujuannya untuk dakwah Islam dengan tidak menyimpang dari ajaran-ajaran syari'at, sah-sah saja. Sebagai upaya refleksi dan introspeksi juga insisiasi atas berbagai hal yang telah dijalani. 
Semoga dalam memasuki Tahun Baru Hijria 1432  Hijriyah ini, semangat hijrah Rasulullah SAW, tetap mengilhami jiwa kita menuju kepada keadaan yang lebih baik dalam segala bidang, sehingga predikat tidak baik yang selama ini dialamatkan kepada umat Islam akan hilang dengan sendirinya, dan pada gilirannya kita diakui sebagai  umat yang terbaik, baik agamanya, baik kepribadiannya, baik moralnya, tinggi intelektualnya dan terpuji. 
Ayahave dari berbagai sumber

No comments:

Post a Comment