Thursday, December 1, 2011

Langkanya Kejujuran


Selama ini, kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang sering kali dipahami secara sempit, terbatas pada ruang kelas, dan sering kali pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi pendidikan yang kokoh.
Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah beramai- ramai membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka. Namun, sayang, gagasan yang tampaknya relevan dalam mengembangkan nilai kejujuran ini mengabaikan prinsip dasar pedagogi pendidikan berupa kedisiplinan sosial yang mampu mengarahkan dan membentuk pribadi anak didik. Alih-alih mendidik anak menjadi jujur, di banyak tempat anak yang baik malah tergoda menjadi pencuri dan kantin kejujuran malah bangkrut. Ini terjadi karena kultur kejujuran yang ingin dibentuk tidak disertai dengan pembangunan perangkat sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama. Tiap orang bisa tergoda menjadi pencuri jika ada kesempatan.
Kegagalan kantin kejujuran adalah sebuah indikasi bahwa para pendidik memiliki kesalahan pemahaman tentang makna kejujuran dalam konteks pendidikan. Mereka tidak mampu melihat persoalan yang lebih mendalam yang menggerogoti sendi pendidikan kita. Kejujuran semestinya tidak dipahami sekadar anak jujur membeli barang di toko. Padahal, di depan mata, nilai-nilai kejujuran dalam konteks pendidikan telah diinjak-injak, seperti mencontek, menjiplak karya orang lain, melakukan sabotase, vandalisme halaman buku yang disimpan di perpustakaan, dan simulasi, yaitu mengaku telah mengumpulkan dan mengerjakan tugas, padahal sebenarnya tidak. Hal-hal inilah yang mesti diseriusi oleh para pendidik jika ingin menanamkan nilai kejujuran dalam konteks pendidikan.
Mencontek telah menjadi budaya dalam lembaga pendidikan kita. Ia bukan hanya berkaitan dengan kelemahan individu per individu, melainkan telah membentuk sebuah kultur sekolah yang tidak menghargai kejujuran. Masifnya perilaku ketidakjujuran itu telah merambah dalam diri para pendidik, siswa, dan anggota komunitas sekolah lain. Untuk itu, pendekatan yang lebih utuh dan integrallah yang dibutuhkan untuk melawan budaya tidak jujur ini.

Setidaknya kita bisa memulainya dari lingkup terkecil, keluarga.
Membiasakan sikap jujur sebagai budaya didalam kehidupan keluarga

Anak kecil pintar sekali meniru apa yang dilihat, dan kebohongan dari tingkah laku dan perkataan yang dilakukan orang tua juga akan menanamkan kebohongan dalam mental anak kecil tersebut. Apapun itu bentuk kebohongannya sekalipun dalam hal kecil,itu semua terekam dalam memori sang anak.
Janji yang yang tidak ditepati juga menjadi penyebab yang gampang direkam. Jangan pernah menjanjikan sesuatu yang pastinya tidask ditepati. Jika janji tersebut tidak jadi karena faktor lain,katakan maaf dan kasih pengertian kepada si kecil. Jangan juga menceritakan sesuatu yang mengandung kebohongan karena ketika nantinya sang anak melihat kenyataannya dia akan merekamnya. Jangan gengsi meminta maaf jika ada kesalahan kita dimata anak kita. Sikap gentle kita ini akan direkam menjadi suatu kebaikan nantinya bagi dia.

Kesadaran jujur tidak akan dihukum.
Memberi pengertian dan gambaran kepada si kecil tentang kejujuran dan keburukan dari kebohongan. Ajarkan juga si kecil untuk tidak takut mengaku kalau berbuat salah. Kasih pengertian jika dia berbuat salah dan mengaku tidak akan dihukum. Jangan selalu memberikan ancaman untuk suatu kesalahan karena itu menjadi suatu momok yang menakutkan bagi sang anak ketika dia berbuat suatu kesalahan.
Komunikasi Yang Baik Dengan Sang Anak
Orang tua harus sering berkomunikasi dengan baik dan terbuka kepada sang anak. Keterbukaan dimulai dari orang tua bisa menceritakan apa yang dia lakukan ketika dia pergi/ kerja meninggalkan sang anak. Hal ini akan membuat sang anak juga akan menceritakan apa yang terjadi pada dirinya selama dia tidak bersama dengan kita. Tunjukkan sikap yang menyimak dengan baik apa yang diceritakannya, jangan anggap remeh setiap ceritanya. Dan juga berikan apresiasi atas cerita dan kejujuran sang anak tersebut.
Jangan lupa memberikan apresiasi yang baik dari orang tua atas kejujuran sang anak dibanding hukuman atas kesalahan yang dibuat.
Mengenai penanaman kejujuran ini saya teringat cerita DR Arun Gandhi, cucu Mahatma Gandhi. Berikut ceritanya : 
Dr. Arun Gandhi, cucu mendiang Mahatma Gandhi bercerita, pada masa kecil ia pernah berbohong kepada ayahnya. Saat itu ia terlambat menjemput ayahnya dengan alasan mobilnya belum selesai diperbaiki, padahal sesungguhnya mobil telah selesai diperbaiki hanya saja ia terlalu asyik menonton bioskop shg lupa akan janjinya.
Tanpa sepengetahuannya, sang ayah sudah menelpon bengkel lebih dulu shg sang ayah tahu ia berbohong.
Lalu wajah ayah tertunduk sedih; sambil menatap Arun sang ayah berkata, “Arun, sepertinya ada sesuatu yang salah dengan ayah dalam mendidik dan membesarkan kamu, sehingga kamu tidak punya keberanian untuk berbicara jujur kepada ayah. Untuk menghukum kesalahan ayah ini, biarlah ayah pulang dengan berjalan kaki; sambil merenungkan di mana letak kesalahannya”
Dr. Arun berkata: Sungguh saya begitu menyesali perbuatan saya tersebut. Sejak saat itu seumur hidup, saya selalu berkata jujur pada siapapun.
Seandainya saja saat itu ayah menghukum saya, mungkin saya akan menderita atas hukuman itu, dan mungkin hanya sedikit saja menyadari kesalahan saya. Tapi dengan tindakan mengevaluasi diri yang dilakukan ayah,meski tanpa kekerasan, justru memiliki kekuatan luar biasa untuk mengubah diri saya sepenuhnya.
Mudah-mudahan ulasan ini dapat menginspirasi kita semua.
dari berbagai sumber dengan penambahan

1 comment: